Pelabuhan Patimban Subang Belum Beroperasi Optimal, Inilah Penyebabnya. Pelabuhan Patimban adalah sebuah Pelabuhan yang berada di Desa Patimban, Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, yang berada di bagian utara Jawa Barat, merupakan Pelabuhan raksasa di Indonesia dengan area seluas 654 hektare. Dari luasan tersebut hingga tahun 2023 berkat kerja sama Kementerian Keuangan-DJKN-KPKNL Purwakarta, Kementerian Perhubungan-KSOP Kelas II Patimban dan Kementerian ATR BPN-Kantor Pertanahan Kabupaten Subang telah terbit 14 sertipikat dengan jumlah luasan 3.097.005 m2, dan di tahun 2024 ini sedang diusulkan 12 bidang tanah untuk disertipikatkan, demi terciptanya tertib fisik, tertib administrasi dan tertib hukum atas aset negara.

Dengan adanya terminal kendaraan di Pelabuhan Patimban ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan lalu lintas khususnya untuk ekspor impor produk kendaraan di Pelabuhan Tanjung Priok selama ini, dimana kendaraan berat termasuk angkutan ekspor impor penyumbang kemacetan lalu lintas, khususnya ruas antara Bekasi- Tanjung Priok, Jakarta.

Pelabuhan Patimban Subang Belum Beroperasi Optimal, Inilah Penyebabnya

Satuan Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Patimban dikenal dengan Pelabuhan Patimban merupakan salah satu pemangku kepentingan pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Purwakarta.

Pembangunan Pelabuhan Patimban merupakan proyek berskala panjang yang dimulai tahun 2018 dan saat ini sudah selesai dalam pembangunan tahap pertama yang meliputi pembangunan sewa terminal, Breakwater, Seawall dan Revetmen, pembangunan backup area, jalan akses, dan jembatan penghubung dengan kapasitas terminal kendaraan sebesar 218.000 CBU (Completely Built Up) dari total kapasitas kumulatif 600.000 CBU dan kapasitas terminal peti kemas sebesar 250.000 TEUs (Twenty-foot equivalent units} dari total kumulatif 3,75 juta TEUs untuk tahap I secara keseluruhan.

Kehadiran Pelabuhan Patimban yang disinergikan dengan Pelabuhan Tanjung Priok diharapkan dapat mengefisiensikan waktu dan biaya logistik, khususnya untuk menekan biaya logistik nasional dan meningkatkan efisiensi biaya ekspor produk Indonesia ke luar negeri, seperti produk otomotif. Selain itu juga untuk mengurangi pemborosan penggunaan energi bahan bakar yang mempercepat kerusakan jalan, serta mengurangi kepadatan Pelabuhan Tanjung Priok.

Baca Yuk :  Mengapa Perusahaan Asuransi Meminta Laporan Independent Marine Surveyor (IMS)?

Pelabuhan Patimban mengedepankan teknologi dan sistem digital dalam pengoperasiannya, sehingga semua sistem terintegrasi secara digital dan dapat diakses real time sehingga proses logistik bisa lebih efisien dan tidak terjadi penumpukan.

Target jangka panjang  pembangunan Pelabuhan Patimban adalah menjadi Pelabuhan berskala internasional yang mampu melayani dan menyediakan Terminal Peti Kemas dengan kapasitas sampai dengan 7,5 juta TEUs dan terminal kendaraan dengan kapasitas kumulatif 600.000 CBU  yang didukung dengan akses tol dan terhubung jalur kereta api langsung menuju Pelabuhan Patimban. Hal tersebut diharapkan dapat mendukung pemerataan ekonomi di wilayah Provinsi Jawa Barat yang tercakup dalam segitiga Rebana (Cirebon, Patimban dan Kertajati), dan akan menjadi tulang punggung  ekonomi koridor Jawa di masa depan.

Pelabuhan Patimban dalam waktu dekat ini akan terkoneksi dengan jalan tol juga diharapkan dapat meningkalan potensi pembangunan kawasan- kawasan industri prioritas di sepanjang Koridor Utara Jawa, terutama Kawasan Industri Bekasi, Karawang, Purwakarta (Bekapur), sehingga menjadi kawasan logistik yang sangat besar. Dengan demikian dapat menjadi salah satu pusat perputaran ekonomi yang berdampak positif, sehingga makin menghidupkan dan menggalakkan aktivitas ekonomi, serta memperkuat ketahanan ekonomi utamanya bagi masyarakat di sekitar infrastruktur transportasi baru tersebut.  

Pembangunan Pelabuhan Patimban dan penyediaan fasilitas Pelabuhan, baik berupa fasilitas pokok, pendukung serta backup area Pelabuhan Patimban dibiayai menggunakan “Uang Kita” dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan menjadi “Ini Punya Kita” Barang Milik Negara (BMN). Manfaat APBN ini benar-benar dirasakan oleh rakyat Indonesia, tentunya kita bangga dan semakin cinta negeri ini. Jangan pernah lelah mencintai negeri ini, Indonesia, seperti pesan Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI.

Pelabuhan Patimban Subang Belum Beroperasi Optimal, Inilah Penyebabnya

PELABUHAN Patimban Subang, Jawa Barat, belum bisa dioperasikan untuk kapal kontainer lantaran belum memiliki crane untuk bongkar muat kontainer dan jaraknya jauh dengan kawasan industri. Hal ini membuat para pelaku industri tidak ingin beralih dari ke Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Patimban.

Baca Yuk :  IMDG Code And Medical Oxygen Cylinder Requirements in Marine Surveyor

Padahal, jika disesuaikan dengan target yang disampaikan, seharusnya pada 2023, Pelabuhan Patimban sudah bisa menerima 3,5 juta teus per tahun. “Masalahnya adalah pertama, Pelabuhan Patimban itu belum memiliki crane, yang digunakan untuk mengangkat peti kemas dari kapal ke dermaga penumpukan peti kemas di pelabuhan,” kata pengamat transportasi, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyoroti Pelabuhan Patimban yang hingga kini belum bisa menerima kapal logistik pengangkut kontainer Kamis (5/12).

Ia menyatakan dengan biaya pembangunan Pelabuhan Patimban yang mencapai Rp43,22 triliun, seharusnya Pelabuhan Patimban sudah memiliki fasilitas crane dan kelengkapan pelabuhan lainnya.

Sebagai bahan perbandingan, Pelabuhan Kuala Tanjung Medan di Kawasan Industri Kuala Tanjung (KIKT), yang dibangun hanya dengan nilai investasi sekitar Rp4 triliun saja, saat ini sudah bisa menerima 80.000 teus per tahun, dengan target adalah 800.000 teus karena pelabuhan tersebut juga dilengkapi dengan crane yang memadai.

Demikian juga Pelabuhan Makassar New Port, yang dibangun dengan biaya Rp5.4 Trilliun, dengan kapasitas 2.5 juta teus per tahun. Saat ini  Pelabuhan Makassar New Port sudah menampung 257.981 teus per tahun.

“Pelabuhan Patimban dibangun dalam tiga tahap, tahap pertama di 2019 harusnya bisa menampung sekitar 350.000 teus. Tahap kedua di tahun 2023, bisa menampung 3.75 juta teus. Sedangkan target penyelesaian di triwulan III 2024, bisa menampung 7.5 juta teus. Tetapi sampai dengan saat ini, tidak ada satu peti kemas (teus) pun ada di pelabuhan tersebut. Ya karena crane nya belum ada. Lalu bagaimana kapal bisa memindahkan muatannya kalau tidak ada crane di pelabuhan tersebut?” tegas Bambang.

Apalagi pelabuhan tersebut juga jauh dari kawasan industri, yakni Kawasan Industri Subang Smartpolitan, proyek strategis nasional, yang direncanakan terintegrasi dengan Patimban.

Selain itu, panjang dermaga Pelabuhan Patimban yang hanya 840 meter, tidak mencukupi untuk menampung kapal dengan target muatan 7,5 juta teus. Karena untuk menampung muatan 21.000 teus per hari, dibutuhkan panjang dermaga sekitar 4 kilometer. “Kapasitas dermaga saja sudah tidak sesuai dengan target teus yang diinginkan,” ujarnya tegas.

Baca Yuk :  Revolusi Teknologi Modern Dalam Survei Kelautan

Masalah kedua, adalah tidak terkoneksinya jalur logistik, antara kawasan industri dengan pelabuhan atau bandara. Bambang Haryo menyatakan jarak antara Kawasan Industri Subang Smartpolitan dengan Pelabuhan Patimban sekitar 50 kilometer dan dengan Bandara Internasional Kertajati juga juga berjarak sekitar sekitar 50 kilometer.

“Kawasan industri itu dibangun kan untuk terintegrasi dengan Pelabuhan Patimban. Tapi ternyata, jaraknya 54,3 kilometer dengan Pelabuhan Patimban. Seharusnya, kalau kawasan industri yang dibangun untuk terintegrasi dengan pelabuhan, jaraknya tidak sejauh itu. Maksimal dalam radius 5-10 kilometer. Seperti Kuala Tanjung itu, jarak pelabuhan dengan industri kurang dari dua kilometer. Sehingga, biaya logistiknya menjadi murah,” kata legislator asal Partai Gerindra ini.

Ia menegaskan skema pembangunan ini sudah salah sejak awal karena kawasan industri Subang dan Pelabuhan Patimban itu dibangun secara bersamaan untuk menurunkan traffic di Tanjung Priok dan menurunkan biaya logistik.

“Jadi pembangunan ini dilakukan untuk mengurangi kepadatan arus logistik dari Bekasi, Karawang atau kawasan industri lainnya ke arah Tanjung Priok. Tapi kalau jarak dan fasilitas pelabuhannya tidak memenuhi ekspektasi pelaku industri, bagaimana bisa pelaku industri memindahkan jalur logistik hasil industrinya ke Patimban? Ini kan yang membuat harga logistik mahal. Jarak industri jauh dari pelabuhan,” ungkapnya.

Bambang Haryo menegaskan, sudah seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kajian pembangunan kawasan industri dan jalur transportasi ke depannya.

“Seharusnya kawasan industri ini sudah beroperasi. Pelabuhan juga sudah berjalan. Kalau belum beroperasi, artinya ada yang salah. Dan pemerintah harus secepatnya mengambil langkah yang dianggap penting, untuk membantu pengembangan industri kita, dalam rangka mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional,” pungkasnya.

Pelabuhan Patimban Subang Belum Beroperasi Optimal, Inilah Penyebabnya

Sumber : mediaindonesia.com/nusantara/724708/pelabuhan-patimban-belum-beroperasi-optimal-ini-sebabnya